Sastra Kota

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Sabtu, 24 Januari 2009 05:56:12 Klik: 4795
Klik untuk melihat foto lainnya...

Sastra Kota
Jebakan Menjadi Agen Kebudayaan


Oleh Saifur Rohman

Akhir-akhir ini, kota telah menjadi semacam kelatahan dalam cara orang memproduksi karya sastra. ”Sastra kota” seakan sudah menjadi semacam subgenre tersendiri dalam khazanah literatur kita. Padahal, sebenarnya terjadi semacam kekeliruan dalam cara sastrawan menghadapi kota sebagai obyek literernya.

Kelatahan itu setidaknya tampak dalam tulisan Imam Muhtarom yang diberi tajuk ”Budi Darma dan Kota” (Kompas, 22/4/2008). Juga Bandung Mawardi membuat tulisannya tentang kota dalam sastra dalam judul ”Manusia Hotel” (Kompas, 9/8/2008). Dan puncaknya tahun ini, terwujud dalam bentuk sebuah kumpulan cerpen LA Underlover: The Story of Angels in the City of Angel (Kata Kita, 2008).

Kumpulan cerpen itu mengambil kota Los Angeles, Amerika Serikat, sebagai latar belakang cerita. Setelah penerbit meneliti berbagai cerpen yang telah dipublikasikan tentang kota Los Angeles, akhirnya didapat 17 cerpen yang ditulis oleh lima cerpenis. Di antaranya terdapat karya Budi Darma yang berjudul ”Distrik Rodham”. Sebuah cerpen di Budi bercerita tentang kota Rodham dan problematika tentang pemakaman yang semula menjadi lahan publik tiba-tiba harus dikotak-kotakkan berdasarkan status sosial. Warga Rodham yang kaya harus dikuburkan terpisah dengan warga Rodham yang miskin.

Budi Darma juga menulis kisah lain, ”Sahabat Saya John”. Tulisan itu berkisah tentang seorang kelasi kapal yang ingin sekali pergi ke Los Angeles atau setidaknya menulis surat dengan kolofon di Los Angeles.

Sebuah tuturan tokoh yang memperlihatkan gaya dan intensi Budi Darma dalam menyelami kehidupan satu bagian dari masyarakat yang ada di sekitarnya.

Menjadi agen kebudayaan

Sayangnya, penerbit buku kumpulan cerita di atas tidak cukup memberi penjelasan tentang alasan-alasan, asal-usul teks, serta sudut pandang yang akhirnya melahirkan antologi itu. Tidak ada argumentasi, misalnya, bila antologi itu adalah sebuah kritik, yang tidak hanya memaparkan kelebihan kota Los Angeles, tetapi ungkapan tentang kekurangan dan kelemahannya.

Adanya penjelasan itu setidaknya membuka peluang cerita-cerita seputar kota tidak terjebak ke dalam cara pandang atau pendekatan yang antropologis, tetapi lebih pada pendekatan dasar tentang sastra itu sendiri. Pendekatan terakhir ini terasa lebih tepat karena ia akan lebih menjelaskan ”karya” sastranya, bukan justru tentang ”kota”-nya. Ada beberapa pendekatan sastra mengenai hal itu.

Pertama, persoalan tema dalam ilmu sastra. Dalam tradisi kritik sastra di dunia, persoalan ini bisa dibilang sebagai derivasi dari pendekatan ekstrinsik model Wellek dan Warren. Tema, kota, misalnya, menjadi kata kunci untuk menciptakan analisis yang lebih lanjut.

Kedua, dalam wawasan interdispliner, sastra dan pendekatan antropologis sebuah kota hanyalah fenomena lanjutan dari semangat pluralisme dalam konteks cultural studies mazhab Birmingham yang dikembangkan oleh Raymond William.

Ketiga, dalam tafsir kebudayaan, ”sastra kota” semacam ini berposisi tidak lebih dari sekadar sebagai ”agen kebudayaan”. Di mana mereka (para agen kebudayaan ini) melihat kota lebih sebagai ikon dari sebuah kebudayaan. Dengan demikian, hasil yang dibuahkannya lebih merupakan sebuah upaya atau ekspresi yang dikerangkeng oleh kontestasi, dominasi, dan subordinasi. Tidak ada semacam proses, sebagaimana dikatakan Antonio Gramsci, negosiasi dari masing-masing pelaku budaya.

Keempat, dalam aras metafisis, jenis sastra semacam ini merupakan pembongkaran idealisme transenden gaya Hegelian menuju materialisme gaya Nietzschean. Dunia pemikiran sedang bergerak untuk menemukan cara ucap yang baru melalui fenomena-fenomena empiris dan bukan pada nalar murni yang bersifat transendental.

Kelima, dalam wawasan aksiologis, semangat zaman (zeitgeist) dibentuk oleh laporan-laporan perjalanan tentang sebuah tempat-tempat yang jauh. Bentuk ini seperti sudah menjadi orientasi kultural para pelaku sastra Indonesia dalam melihat fenomena kota di dalam sebuah cerita.

Menjadi kritik budaya

Semestinya, orientasi kultural dalam proses kreatif sastra kota tidaklah harus membuat sastrawannya menjadi semacam agen kebudayaan asing, dengan semacam misi seperti akulturasi budaya. Biarlah tugas agen tersebut menjadi bagian dari kerja kedutaan besar negeri yang bersangkutan.

Dalam sastra kota, hal itu pernah terjadi saat Penerbit Djambatan menerbitkan buku bertajuk ”Kian Kemari: Indonesia dan Belanda dalam Sastra” (1973). Di dalamnya berisi cerita-cerita dari 10 pengarang Belanda yang berusaha menggambarkan kota-kota di Hindia Belanda. Dalam pengantarnya, R van den Berg menuliskan dengan jujur: ”Serba-serbi Negeri Belanda yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan tentang negeri Belanda di Indonesia dalam arti luas (1973: ix)”.

Sastrawan atau sastra kota di sini memang bertindak sebagai agen kebudayaan. Bukan kebetulan karena R van den Berg adalah Atase Pers dan Kebudayaan Negeri Belanda di Jakarta, tetapi juga karena isi dan tujuan dari cerita-cerita itu memang membawa semacam misi politis dari Kerajaan Belanda.

Di bagian lain, fokalisasi kota Belanda juga dilakukan oleh orang-orang Hindia Belanda, seperti terbaca dalam karya Marco Kartodikromo, ”Student Hidjo” (Sinar Hindia: 1918). Ceritanya tentang seorang bumiputra bernama Hidjo melakukan perjalanan ke Belanda untuk menuntut ilmu. Karya itu di antaranya adalah pelukisan kota Amsterdam yang dimulai dengan, ”Pukul 4 lepas tengah hari di dalam bulan Juli, kapal kenaikan Hidjo sudah sampai di Amsterdam. Itu waktu di negeri Belanda hawanya panas” (2000: 58).

Lalu Marco dengan cerdas melukiskan kota-kota Belanda tidak dengan orientasi kultural yang penuh silau, tetapi sebagai titik awal untuk melakukan kritik kebudayaan. Penggambaran kota Delft tempat Hidjo belajar ilmu teknik, misalnya, digambarkan dengan, ”Kalau negeri Belanda dan orangnya itu cuma begini saja keadaannya, betul tidak seharusnya kita orang Hindia mesti diperintah oleh orang Belanda” (2000: 59).

Daya kritis semacam itu kini sudah punah. Mungkin sejak para sastrawan kita disilaukan oleh kota-kota yang menjadi acuan ideologis mereka. Seperti Setiawan Hs yang menulis sajak bertajuk ”Leningrad” di Harian Rakjat (Minggu, 22/9/1962), Nusananta dengan sajak ”Peking”-nya dalam Harian Rakjat (Minggu, 1/12/1963) atau Virga Belan dalam puisi bertajuk ”Penerbangan Malam ke Leningrad” di Harian Rakjat, Minggu (1/12/1963).

Masing-masing tulisan itu telah kesurupan atas kota itu. Belan menulis: ”Seorang di sampingku berkata: Leningrad, dan kujawab: Cukup kukenal, kamerad! Aku ke sana! Ke pusat api yang pernah menjulang dalam sejarah! Ke sana! Ke tempat kaum buruh menumbangkan kekuasaan durjana”.

Di masa kini, kota-kota di China dan Rusia masa lalu sudah tidak lagi menjadi acuan. Berganti dengan kota-kota di Amerika dan Eropa yang bagai laron, penuh dengan cahaya.

Cukup banyak sudah sastra Indonesia dipenuhi oleh kota-kota besar oksidental itu. Namun, sayang sungguh sayang, mereka datang hanya sebagai laron yang terpikat oleh kilau cahaya. Cahaya yang ternyata menggelapkan.

Saifur Rohman Alumni S-3 Sastra UGM Yogyakarta, Penulis Beberapa Novel dan Buku Matinya Ilmu (Rumah Kata: 2008)

Dari: kompas.com/ Sabtu/ 24 Januari 2009

 
Berita Artikel Lainnya