Menakar Penghargaan Masyarakat terhadap Profesi Guru

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Sabtu, 27 Desember 2008 04:52:56 Klik: 6386
Klik untuk melihat foto lainnya...
Jajak Pendapat "Kompas"
 
Profesi guru secara perlahan tampak ”naik daun”. Meski terseok-seok, semenjak terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta munculnya sejumlah kebijakan yang propendidikan, guru dan profesi guru kian memperoleh perhatian memadai.

Hasil jajak pendapat Kompas, 19-20 November 2008, memperlihatkan, bagian terbesar responden (29,5 persen) secara mengejutkan menempatkan profesi guru sebagai pilihan pertama profesi yang dicita-citakan. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan cita-cita untuk menjadi dokter atau bidan yang menempati tempat favorit kedua.

Dilihat dalam kategori jenis kelamin, perempuan tampak lebih berminat bekerja dalam profesi pendidik ini ketimbang laki- laki. Proporsi responden perempuan yang berminat menjadi guru dua kali lipat lebih besar daripada pria.

Namun, ada yang berbeda dari alasan yang dikemukakan. Berlainan dengan asumsi umum bahwa mencari pekerjaan didorong karena motivasi mencari penghasilan, responden yang bercita-cita menjadi guru ternyata lebih banyak didasari alasan nonmateri.

Kebanyakan responden mengaku minatnya menjadi guru karena menyukai keilmuan yang dipelajari, status yang diperoleh, dan aspek empati lainnya. Hanya 3,3 persen saja responden yang bercita-cita menjadi guru karena faktor gaji dan penghasilan.

Kondisi tersebut cukup istimewa jika mengingat kondisi sulitnya mencari pekerjaan, tetapi sekaligus menyiratkan pesan, profesi guru sebetulnya tetap menarik minat pencari kerja.

Profesionalisme guru

Kemunculan Undang-Undang Guru dan Dosen pada intinya didorong oleh semangat untuk lebih menghargai profesi tenaga pendidik. Untuk mengubah pandangan publik selama ini tentang profesi guru dari sebuah tugas ”pengabdian” menjadi sosok pekerjaan profesional, Undang-Undang Guru dan Dosen memberi kesempatan seluruh tenaga pendidik meningkatkan kompetensi melalui program sertifikasi.

Dengan pendekatan demikian, selain gaji dan pemberian tunjangan fungsional, kini guru yang mampu membuktikan kompetensinya akan mendapat imbalan khusus berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Program ini menjadi pintu masuk penguatan aspek profesionalisme dari sebuah pekerjaan guru yang berujung pada peningkatan kesejahteraan guru.

Niat pemerintah untuk memperbaiki nasib guru melalui perbaikan undang-undang dihadapkan pada berbagai masalah teknis dan nonteknis. Masalah status guru, misalnya, tidaklah sesederhana hanya dengan membagi menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) atau non-PNS. Konsekuensi yang mengikuti kedua status itu sungguh berbeda, khususnya dari segi kesejahteraan yang diterima.

Masalah lain adalah program sertifikasi. Jumlah guru yang kini sudah berstatus sarjana atau D-4 lebih sedikit dibandingkan dengan guru yang belum mencapai ”pagu” pendidikan minimal untuk dapat mengikuti program tersebut. Hingga tahun 2006-2007, dari total 2,7 juta guru di seluruh Indonesia, 60 persen belum memiliki kualifikasi akademik minimal, seperti yang disyaratkan undang-undang (lihat Grafik).

Efek dari ketentuan ini semula cukup positif. Guru berbondong-bondong meneruskan pendidikan demi meraih ijazah minimal yang disyaratkan. Sayang, setelah guru bersusah payah melanjutkan pendidikan dengan menghabiskan waktu dan dana, program sertifikasi terkendala kuota tahunan.

Demikian juga bagi sejumlah guru swasta, program sertifikasi dianggap menganaktirikan mereka. Hal ini karena adanya ketentuan, yakni bagi guru yang belum berstatus karyawan tetap, meski sudah memegang ijazah D-4 atau S-1, tidak diperbolehkan mengikuti program sertifikasi. Hanya guru yang berstatus karyawan tetap saja yang dapat mengikuti sertifikasi.

Berbagai kendala yang dihadapi untuk membuktikan kompetensi guru melalui sertifikat profesi itulah yang menjadikan program ini masih seperti mimpi mengawang-awang.

Gaji guru

Terkait penghasilan guru yang minim, publik jajak pendapat juga berpendapat, angkatan ”Oemar Bakrie” ini semestinya bergaji Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Tingkatan penghasilan itu harus semakin tinggi sesuai jenjang pendidikan yang diajar.

Saat ini, untuk sebagian guru yang berstatus PNS, besaran penghasilan tersebut bisa dicapai. Di sebagian daerah, pemerintah setempat bahkan menyubsidi gaji guru sehingga sampai di tingkat yang cukup layak.

Sebagaimana dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sejak tahun 2006 memberikan tambahan tunjangan perbaikan penghasilan untuk guru senilai Rp 1 juta per bulan. Dengan tambahan penghasilan itu, guru yang bergaji pokok Rp 1 juta, misalnya, akan menerima gaji Rp 2,7 juta per bulan, belum termasuk berbagai tunjangan.

Namun, hal itu sulit diwujudkan untuk guru non-PNS, apalagi mereka yang non-PNS tetapi mengajar di sekolah negeri. Hingga saat ini, problem guru non-PNS (swasta) maupun guru bantu (honorer) masih berputar-putar di persoalan kemampuan anggaran, baik itu pemerintah maupun yayasan tempat para guru swasta bernaung.

Seluruh kondisi tersebut menggambarkan niat baik pemerintah saja dengan berbagai perangkat yang dimiliki ternyata belum cukup. Perlu komitmen dan konsisten sistem untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan menjadikan profesi ini memang menarik karena aspek penghargaannya pula.(***)
 

Sumber: Palupi Panca Astuti/ Litbang Kompas
Dari kompas.com
Edisi: Sabtu, 27 Desember 2008 

 
Berita Berita Terkini Lainnya